23 Julai 2009 : Kempen UTM Say No To Bonceng telah memulakan langkah untuk mengutip tandatangan sokongan daripada mahasiswa. Hari ini lebih seratus mahasiswa Kolej Tun Razak telah mula menurunkan tandatangan tanda sokongan terhadap usaha ini di dalam satu program Ceramah Isra' dan Mi'raj yang dianjurkan oleh Kolej Tun Razak dengan kerjasama Kelab Iqra UTM.
Nampaknya kesedaran mahasiswa terhadap gejala sosial khususnya gejala bonceng ini semakin baik. Ini merupakan salah satu objektif yang telah diletakkan diperingkat jawatankuasa bertindak untuk menanamkan rasa benci terhadap perkara-perkara maksiat.
Saudara Ammar, Presiden Kelab Iqra yang ditemui dalam majlis ceramah tersebut juga amat menyokong usaha ini agar diteruskan sehingga berjaya. Dalam majlis yang sama, Saudara Arifuddin daripada Pro Mahasiswa UTM juga menyatakan sokongan beliau agar UTM menjadi Zon Larangan bonceng.
Setakat ini, beberapa persatuan fakulti telah menghubungi jawatankuasa bertindak pusat untuk mereka menghantar surat sokongan terhadap kempen ini. Pimpinan-pimpinan persatuan Mahasiswa UTM yang lain juga diharap dapat menyatakan sokongan dalam pelbagai cara agar UTM bebas daripada gejala yang merosakkan. Sekian. MyLPM.
HUKUM NAIK OJEK
ReplyDeleteBagaimana hukum syara’nya orang yang membonceng wanita bukan mahramnya di atas kendaraan yang sama (ojek), dimana pekerjaan itu memang telah menjadi profesinya untuk mencari nafkah?
Jika kendaraan tersebut di atasnya menggunakan, seperti pelana (semacam tempat duduk tersendiri, dengan pegangannya), atau yang sejenis, dimana kalau wanita tersebut naik di belakangnya, dia tidak akan menyentuh pemboncengnya, dan rute perjalanannya di dalam kota, dengan kata lain tidak melintasi kawasan terpencil, maka hukumnya boleh jika memenuhi dua syarat ini: (1) wanita tersebut naik di belakangnya, sementara dia tidak menyentuh pemboncengnya, dan (2) tidak membawanya, kecuali pada rute dimana mata orang bisa memandanginya. Alasannya, karena Rasulullah saw. pernah membawa Asma’ ra. (adik ipar Nabi) di Madinah, tatkala dia memikul beban yang berat di atas kepalanya. Maka, Rasulullah saw. hendak merundukkan untanya agar bisa dinaiki Asma’, namun Asma’ lebih suka melanjutkan perjalanannya, dengan tidak menaiki (unta Nabi). Sudah lazim diketahui, bahwa di atas unta itu ada punuk, dimana yang pertama bisa dinaiki oleh seseorang, setelah itu berikutnya bisa dinaiki di belakangnya, sementara orang yang kedua tidak harus menyentuh orang yang pertama. Punuk tadi ada di antara kedua orang tersebut. Orang yang kedua pun bisa memegang punuk tadi, sesuka hatinya. Dengan kata lain, unta itu merupakan kendaraan yang memungkinkan untuk dinaiki dua orang, dimana satu sama lain tidak harus saling berpegangan.
Al-Bukhari telah mengeluarkan dari Asma’ bint Abi Bakar berkata:
وَكُنْتُ أَنْقُلُ النَّوَى مِنْ أَرْضِ الزُّبَيْرِ الَّتِيْ أَقْطَعَهُ رَسُوْلُ اللهِ عَلَى رَأْسِيْ … إِلَى أَنْ تَقُوْلَ “ثُمَّ قَالَ الرَّسُوْلُ إِخْ إِخْ لَيَحْمِلْنِي خَلْفَهُ فَاسْتَحْيَيْتُ …”.
Saya pernah membawa benih dari tanah az-Zubair (suami saya), yang telah diberikan oleh Rasulullah saw., dipanggul di atas kepala saya… sampai pernyataan beliau: Kemudian, Rasulullah saw. berkata: Ikh, ikh agar beliau bisa membonceng saya di belakangnya, tetapi saya merasa malu..
Ikh, ikh maksudnya, beliau ingin merundukkan untanya (supaya bisa dinaiki Asma’ di belakangnya).
Karena itu, jika bagian punggung kendaraan tersebut memang siap untuk dinaiki dua orang, tanpa harus bersentuhan satu sama lain, sementara rute perjalanannya bukan di kawasan sepi (terpencil), maka hal itu boleh (mubah). Tetapi, jika tidak (memenuhi dua syarat tersebut), maka tidak boleh (haram). Dari pertanyaan Anda, bisa ditarik kesimpulan, bahwa kendaraan (yang dimaksud, yaitu ojek), yang Anda tannyakan, tentang naiknya wanita di atasnya, dibelakang lelaki (bukan mahram) tersebut jelas tidak demikian. Artinya, di atas punggungnya tidak ada sesuatu yang bisa dinaiki dua orang, sementara satu sama lain tidak saling menyentuh. Karena itu, dalam konteks seperti ini hukumnya tidak boleh (haram). Namun, kalau orang-orang itu ingin membonceng di belakangnya, hendaknya membonceng kaum pria saja, atau membawa kaum wanita tersebut dengan mengendarai kendaraan (seperti motor tossa yang di belakangnya ada gerobak pengangkut, atau becak Aceh), sementara pria pengendaranya membawa mereka. Bukan dengan wanita tersebut naik di belakangnya (ojek), dan memegangi (tubuh pengemudi)-nya, maka ini hukumnya tidak boleh (haram).